Pengadaan Chromebook di Disdikbud Aceh Utara Diduga Sarat korupsi, Sekolah Penerima Akui Tak Optimal Dimanfaatkan
ACEH UTARA – Dugaan praktik korupsi dalam pengadaan alat Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) berupa Chromebook di lingkungan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Aceh Utara semakin menguat. Program yang berlangsung sejak tahun anggaran 2021 hingga 2023 dengan nilai puluhan miliar rupiah itu ditemukan sarat kejanggalan, mulai dari dugaan mark up harga, pelanggaran juknis, hingga distribusi yang tak sesuai kebutuhan sekolah penerima
Berdasarkan dokumen yang berhasil dihimpun, pada tahun 2021 Disdikbud Aceh Utara mengalokasikan dana sebesar Rp 9,46 miliar untuk pengadaan Chromebook bagi 43 sekolah dasar (SD). Masih di tahun yang sama, tambahan Rp 1,91 miliar kembali digelontorkan untuk sembilan SD penerima lainnya.
Pada 2022, jumlahnya semakin membengkak. Sebanyak Rp 16 miliar dialokasikan untuk 130 SD penerima. Selain itu, terdapat paket pengadaan Chromebook dengan 143 unit yang dibanderol Rp 7,2 juta per unit. Padahal, harga tersebut jauh lebih tinggi dari standar yang ditetapkan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP).
Mengacu pada Surat Edaran LKPP Nomor 3 Tahun 2022 tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET) Pengadaan Laptop untuk Pendidikan, disebutkan bahwa harga acuan Chromebook berada di kisaran Rp 5,5 juta per unit. Bahkan, pada 2023, dalam Peraturan Kepala LKPP Nomor 12 Tahun 2023 tentang E-Katalog Sektoral Pendidikan, harga kontrak payung untuk laptop jenis serupa turun menjadi Rp 5 juta per unit.
Harga tersebut sudah mencakup biaya produksi, keuntungan distributor, pajak, ongkos distribusi, hingga pengemasan. Dengan demikian, pengadaan Chromebook di Aceh Utara yang mencapai Rp 7,2 juta per unit sangat jelas melampaui batas, mengindikasikan adanya praktik mark up.
Seorang pengamat kebijakan publik di Lhokseumawe menyebut, “Kalau ada selisih Rp 1,5–2 juta per unit, bayangkan jika dikalikan ribuan unit. Potensi kerugian negara bisa mencapai miliaran rupiah hanya dari selisih harga ini.”
Selain dugaan mark up, pengadaan ini juga dinilai menyalahi Petunjuk Teknis Bantuan Pemerintah untuk Pengadaan Sarana TIK Pendidikan Dasar. Dalam juknis, prioritas penerima haruslah sekolah yang memiliki infrastruktur memadai, seperti jaringan listrik stabil, ruang penyimpanan aman, dan akses internet. Namun, temuan lapangan berbeda.
Sejumlah kepala sekolah mengakui bahwa fasilitas tersebut belum tersedia di sekolah mereka. “Kami menerima 20 unit Chromebook pada 2022, tapi jaringan internet di sekolah sering mati. Banyak perangkat akhirnya jarang dipakai. Malah sebagian masih disimpan di lemari karena guru juga belum dilatih maksimal,” ungkap salah seorang tenaga pendidik di Kecamatan Tanah Luas yang meminta identitasnya disembunyikan.
Pernyataan serupa datang dari seorang guru SD di Geureudong Pase. “Kalau melihat murid kami, yang lebih dibutuhkan sebenarnya buku dan rehab kelas. Chromebook ada, tapi tanpa Wi-Fi stabil, percuma. Kami merasa sekolah hanya jadi tempat titipan barang proyek,” ujarnya dengan nada kecewa.
Kasus di Aceh Utara ini makin relevan setelah Kejaksaan Agung menetapkan mantan Mendikbudristek 2019–2024, Nadiem Anwar Makarim, sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan Chromebook nasional. Proyek senilai Rp 9,7 triliun itu menyebabkan kerugian negara hingga Rp 1,9 triliun.
Dalam konstruksi perkara, jaksa menilai Nadiem berperan aktif dalam mengarahkan penggunaan perangkat berbasis ChromeOS, meski kajian teknis internal kementerian menyebut perangkat tersebut tidak sesuai kebutuhan pembelajaran saat pandemi Covid-19.
Melihat pola yang sama, publik menilai bahwa kasus di Aceh Utara hanyalah bagian kecil dari skema besar yang sudah terbongkar di tingkat Nasional.
Aktivis antikorupsi di Aceh Utara mendorong agar Kejaksaan Agung maupun penegak hukum daerah segera turun tangan.
“Kalau di pusat bisa terbukti ada mark up dan permainan vendor, sangat mungkin di daerah juga terjadi pola serupa. Apalagi data harga sudah terang-benderang melampaui acuan LKPP. Ini harus diusut,” ujarnya.
Dirinya menambahkan, publik jangan hanya fokus pada pejabat pusat. “Kejagung harus melihat rantai distribusi anggaran di daerah. Siapa yang meneken kontrak, siapa vendor pelaksana, dan bagaimana mekanisme e-katalog digunakan. Jangan sampai uang rakyat Aceh Utara ikut raib,” tegasnya.
Masyarakat berharap kasus ini tidak berhenti pada sorotan media semata, melainkan ditindaklanjuti secara hukum. Jika terbukti, para pihak yang terlibat harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.
“Pengadaan TIK seharusnya untuk memajukan pendidikan anak-anak kita, bukan jadi ladang korupsi. Kalau terus begini, masa depan generasi Aceh akan dirugikan,” pungkas seorang wali murid di Kecamatan Matangkuli.
Dengan semakin kuatnya bukti perbandingan harga, pelanggaran juknis, dan kesaksian dari pihak sekolah, publik Aceh Utara kini menunggu langkah tegas aparat hukum. Kasus nasional sudah membuka pintu, tinggal menunggu apakah skandal di daerah juga akan terseret ke meja hijau.( Anam)